Defisit Perdagangan Komoditas Pangan Mengkhawatirkan

Defisit Perdagangan Komoditas Pangan Mengkhawatirkan

Defisit perdagangan komoditas pangan mulai menyimpan kekhawatiran, karena jumlah impornya yang terus meningkat. Di sisi lain, produksi komoditas pangan juga mulai dipertanyakan lantaran tak sesuai target yang ingin dicapai pemerintah sehingga ekspor menurun.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia periode April 2018 mengalami defisit sebesar US$ 1,63 miliar. Total impor per April 2018 tercatat sebesar US$ 16,09 miliar, terbesar dalam 3 tahun terakhir. Sedangkan di sisi lain, data ekspor yang justru merosot menjadi US$ 14,47 miliar.

Salah satu peningkatan terbesar terletak pada impor barang konsumsi yang bersumber komoditas pangan. BPS mencatat, secara bulanan (month to month) kenaikan impor barang konsumsi sebesar 25,86% dan secara tahunan (year on year) kenaikannya mencapai sebesar 38,01%.

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyebut defisit neraca perdagangan komoditas pangan mulai mengkhawatirkan karena angkanya terus meningkat dalam tiga tahun terakhir.

Menurut catatannya, defisit neraca perdagangan komoditas pangan terus melonjak sejak 2015 hingga 2017. Kenaikannya dari US$ 9,9 juta menjadi US$ 10,2 juta dan terus meningkat ke angka US$ 10,8 juta. Sementara itu, menurutnya ekspor kelapa sawit juga cukup tergerus besar dalam sektor pertanian.

Secara volume, Dwi juga menyebut, impor tujuh komoditas utama seperti beras, jagung, kedelai, gandum, gula tebu, ubi kayu, dan bawang putih mengalami kenaikan dari 21,7 juta ton pada 2016 menjadi 25,2 juta ton pada 2017. Ketujuh komoditas pangan impor yang jumlahnya di atas 200 ribu ton per tahun.

Sementara itu, dia juga pun menilai target swasembada pemerintah tidak tercapai. “Ada masalah dalam pernyataan produksi surplus besar, sebab faktanya semua terbalik,” kata Dwi kepada Katadata, Jumat (18/5).

Dengan data tersebut, menurutnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah semestinya mulai mengevaluasi program peningkatan produksi milik Kementerian Pertanian. Alasannya, pangan merupakan salah satu penyumbang inflasi terbesar. “Dana pertanian pemerintah terus melonjak, tapi hasilnya nihil,” ujar Dwi.

Dia pun meminta ada perombakan kebijakan yang bersifat pengadaan menjadi subsidi dalam bentuk direct cash transfer. Tujuannya adalah peningkatan kesejahteraan petani, sehingga dapat memotivasi mereka agar dapat meningkatkan produksi. Jika produksi tinggi, maka harga jual barang di tingkat konsumen secara perlahan akan mulai stabil.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan Kasan Muhri membenarkan bahwa impor barang konsumsi merupakan salah satu cara untuk menstabilisasi harga. Dalam kategori barang konsumsi, 5 komoditas yang impornya tertinggi menurutnya adalah bawang putih, beras, daging beku, pir, dan apel. dia pun membenarkan, cara penanggulangannya memang harus dengan peningkatan produksi dalam negeri.

Meskipun begitu, dia menilai sumbangan impor barang konsumsi yang sekitar 9,5% terhadap defisit komoditas non migas April 2018 sebesar US$ 0,5 miliar jumlahnya masih relatif kecil dibanding impor bahan baku penolong dan barang modal masing-masing berkontribusi sebesar 74,5% dan 16%.

Sementara itu, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Agung Hendriadi sebelumnya menjelaskan bahwa ketersediaan pasokan bahan pangan cukup untuk Ramadan dan Lebaran 2018. “Masyarakat jangan khawatir, kami menjamin barang tersedia di pasar,” kata Agung.

sumber: katadata.co.id