Sawit Notif – Kebijakan pemerintah Indonesia yang menetapkan harga eceran tertinggi minyak goreng dinilai oleh sejumlah ahli ekonomi akan memberikan dampak bergam bagi emiten sawit, seperti yang terjadi pada PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI) dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk. (LSIP).
Mengutip Bisnis.com (14/2), Analisis Mirae Asset Sekuritas Juan Harahap menilai, kebijakan pemerintah memberikan dampak negatif karena menimbulkan keterhambatan harga jual rata-rata (ASP), sehingga mengakibatkan margin yang lebih rendah di masa depan.
Juan mencatat bahwa AALI memiliki porsi ekspor 45 persen dan proporsi penjualan domestik 55 persen sepanjang sembilan bulan pada tahun 2021. Oleh karena itu, Juan memprediksi AALI akan mengalami penurunan pendapatan pada 2022 sebesar 9,5 persen. Begitupun pihak Juan tetap mempertahankan rekomendasi beli AALI dengan target harga lebih rendah, yaitu Rp 12.100 dari sebelumnya Rp 12.700.
Berbeda dengan AALI, kebijakan pemerintah tersebut cenderung diprediksi Juan akan berdampak netral kepada emiten sawit LSIP. Pasalnya, volume penjualannya telah diarahkan ke pasar domestik. Untuk itu, Juan mempertahankan rekomendasi beli LSIP dengan target harga yang tidak berubah, yakni Rp 1.900.
Naiknya harga komoditas kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) ternyata juga memberi keuntungan yang tak sedikit kepada LSIP, setidaknya hingga kuartal III/2021. Dimana berdasarkan data perseroan per 30 September 2021, Lonsum mencatatkan penjualan senilai Rp 3,34 triliun, melesat sekitar 47 persen secara tahunan yang ditopang oleh kenaikan volume penjualan dan harga jual rata-rata (ASP) CPO.
Secara keseluruhan, Juan mempertahankan rating overweight terhadap sektor perkebunan Indonesia, dengan memilih AALI sebagai pilihan utama seiring dengan tingginya harga CPO.
Terkait permasalahan kelangkaan minyak goreng di beberapa swalayan dan minimarket, tim Samuel Sekuritas Indonesia menyimpulkan bahwa penyebabnya bukan pada kelangkaan bahan baku, mengingat 70 persen hasil produksi minyak sawit Indonesia digunakan bahan pembuatan minyak goreng. Kelangkaan stok minyak goreng terjadi karena harga bahan baku yang melonjak.
Harga CPO saat ini telah mencapai Rp 15.000 per kilogram. Dari angka tersebut, sudah semestinya harga minyak goreng berada di kisaran Rp 18.000 – 19.000 per liter. Karena itu, kebijakan satu harga dan subsidi Rp 3.000 dari BPDPKS diperkirakan hanya akan membuat produsen minyak goreng kehilangan profit sebesar Rp 2.000 – 3.000 per liter. Tak khayal bila Samuel Sekuritas menilai kebijakan ini akan menjadi sentimen negatif di industri hilir sawit, dan di industri hulu juga demikian jika diberlakukannya praktek DMO oleh pemerintah.
Soal prospek, SVP Research Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial mengatakan pada tahun 2022 emiten perkebunan masih memiliki prospek yang cukup positif, salah satunya ditopang oleh tersendatnya rantai pasokan global yang disebabkan oleh pandemi virus Corona.
Disamping itu, harga CPO juga diprediksi akan berada di level yang tinggi, seiring dengan siklus cuaca yang akan menghambat proses penanaman dan panen sawit pada awal 2022. Sentimen ini dapat memperpanjang kelangkaan CPO selama 6 bulan pertama.
Janson turut memprediksi pergerakan harga CPO akan tetap bullish sepanjang tahun 2022, sehingga berimbas positif terhadap kinerja emiten-emiten perkebunan. Seiring dengan hal tersebut, Janson memproyeksikan harga CPO akan berada di atas 4.200 ringgit per ton.
Sumber: Bisnis.com