Volume ekspor minyak sawit Indonesia sepanjang Mei 2018 turun 3% dibanding bulan sebelumnya. Penurunan volume ekspor tersebut salah satunya disebabkan oleh meningkatnya stok minyak nabati dunia, baik dari jenis rapeseed maupun biji bunga matahari, sehingga minat beli minyak sawit di luar negeri sedikit menurun.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono menjelaskan perang dagang antara AS dan Tiongkok juga dinilai turut mempengaruhi ketersediaan minyak nabati global. “Dengan meningkatnya stok kedelai AS dan pelemahan permintaan pasar global, harga pun mulai jatuh,” kata Mukti dalam keterangan resmi, Rabu (11/7).
Gapki mencatat, volume ekspor minyak sawit secara total, termasuk diantaranya biodiesel dan oleochemical, pada Mei 2018 dibandingkan April 2018, turun 3% menjadi 2,33 juta ton dari 2,39 juta ton. Sementara khusus untuk ekspor minyak sawit mentah (CPO), pada Mei lalu angkanya juga mencatat penurunan 4% menjadi 2,14 juta ton dibandingkan April 2018 sebesar 2,22 juta ton.
Di sisi lain, penurunan harga minyak sawit rupanya juga tidak mampu menarik pembeli dari India sebagai cadangan minyak sawit. Hal tersebut disinyalir akibat kebijakan pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk komoditas minyak sawit. Sebab, sejak kebijakan itu diberlakukan, permintaan minyak sawit ke India turun drastis.
Menurut catatan Gapki, penurunan impor India terhadap komoditas CPO dari Indonesia beserta turunnanya menyusut hingga 31% atau setara 346,28 ribu ton menjadi 240,16 ribu ton.
“Pasar India yang sudah tergerus lebih dari 50% dari sejak awal tahun yang akhirnya turut menyebabkan stok minyak sawit di Indonesia dan Malaysia menjadi tinggi karena penyusutan pembeliannya sangat signifikan,” ujar Mukti.
Sementara itu, ekspor minyak sawit ke Uni Eropa juga sudah dipastikan menurun karena melimpahnya produksi minyak bunga matahari dan rapeseed. Menurut data Gapki, ekspor minyak sawit Indonesia ke Benua Biru telah menysuut sekitar 7% ada Mei lalu menjadi 359,31 ribu ton, dibandinh bulan sebelumnya yang masih tercatat sebesar 385,10 ribu ton.
Meski demikian, kabar baik terkait kinerja ekspor sawit rupanya masih datang dari Pakistan. Volume ekspor CPO dan turunannya ke negara itu naik sebesar 29% pada Mei lalu. kenaikan ekspor yang cukup signifikan itu menjadi angin segar, setelah selama tiga bulan terakhir ekspor tercatat stagnan.
Kenaikan ekspor tersebut salah satunya disebabkan oleh harga minyak sawit yang sedang murah, sehingga banyak importir melakukan penyimpanan dan menimbun stok minyak sawit untuk digunakan beberapa waktu mendatang.
Selain Pakistan, peningkatan volume ekspor juga terjadi ke negara tujuan ekspor di Afrika sebesar 29,5% dibandingkan April lalu menjadi 228,75 ribu ton di Mei. “Ini adalah volume tertinggi sepanjang tahun 2018,” kata Mukti.
Meski dalam situasi perang dagang dengan AS, Tiongkok juga rupanya telah mengeskalasi impor minyak sawit Indonesia pada Mei 2018. Tiongkok membukukan kenaikan sebesar 6% dan AS mencatatkan kenaikan mencapai 18%.
Adapun pada sisi produksi, Gapki mencatat produksi minyak sawit pada Mei 2018 sebanyak 4,24 juta ton, naik 14% dibandingkan pada April yang hanya mencapai 3,72 juta ton. Kenaikan produksi pada kahirnya turut mengerek stok minyak sawit Indonesia meningkat menjadi 4,76 juta ton dibanding April sebesar di 3,98 juta ton.
Sementara harga minyak sawit sepanjang Mei tercatat bergerak di kisaran US$ 650 – US$ 670 per metrik ton dengan harga rata-rata US$ 653,6 per metrik ton. Harga rata-rata Mei menurun US$8,6 dibandingkan harga rata-rata pada April lalu US$ 662,2 per metrik ton.
Dengan cadangan persediaan minyak sawit Indonesia dan Malaysia yang masih tinggi, menyebabkan harga minyak sawit pada Juni relatif turun.
sumber: katadata.co.id