Sawit Notif – Industri sawit menghadapi beragam persoalan yang berdampak kepada hilangnya potensi ekonomi. Sebagaimana hasil kajian Ombudsman RI yang merilis Hasil Kajian Sistemik tentang Tata Kelola Industri Kelapa Sawit.
Dilansir dari sawitindonesia.com Ombudsman RI menemukan adanya potensi maladministrasi berupa ketidak pastian layanan, pengabaian kewajiban hukum, tidak memberikan layanan, penyimpangan hukum dan ketidak jelasan prosedur dalam tata kelola industri kelapa sawit. Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika dalam penyampaian hasil kajian sistemik di Gedung Ombudsman RI pada Senin (18/11/2024).
“Hasil kajian ini bermaksud untuk memberikan potret menyeluruh tentang persoalan yang masih ada dalam tata kelola sektor ini khususnya masalah layanan yang diselenggarakan negara. Kajian ini mengidentifikasi sejumlah potensi masalah yang bisa berujung pada maladministrasi,” ucap Yeka.
Berdasarkan hasil penelaahan berbagai keterangan, data, informasi dan regulasi, Ombudsman RI menyimpulkan berbagai permasalahan kelapa sawit dibagi ke dalam empat aspek. Adapun aspek yang dimaksud antara lain aspek lahan, aspek perizinan, aspek tata niaga dan aspek kelembagaan.
Pada aspek lahan, Ombudsman RI menemukan adanya ketidakpastian layanan dalam tumpang tindih Hak Atas Tanah (HAT) lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan dan tidak adanya kepastian penyelesaian inventarisasi SK D atin terhadap lahan perkebunan sawit. Luasan lahan overlay tumpang tindih perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan seluas 3.222.350 hektar dengan subjek hukum kelapa sawit sejumlah 2.172 perusahaan dan 1.063 koperasi/kelompok tani perkebunan kelapa sawit.
Pada aspek perizinan, Ombudsman RI menemukan adanya ketidak pastian layanan dalam tumpang tindih Hak Atas Tanah (HAT) lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan dan tidak adanya kepastian penyelesaian inventarisasi SKD anti terhadap lahan perkebunan sawit. Luasan lahan overlay tumpang tindih perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan seluas 3.222.350 hektar dengan subjek hukum kelapa sawit sejumlah 2.172 perusahaan dan 1.063 koperasi/kelompok tani perkebunan kelapa sawit.
Pasa aspek tata niaga, Ombudsman RI menemukan potensi mal administrasi berupa ketidak jelasan prosedur dan kepastian hukum dalam persaingan usaha Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kebun dan PKS tanpa kebun, kebijakan biodesel dan pengaturan tarif ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME). Yeka mengatakan bahwa masalah perizinan PKS disebabkan kurangnya koordinasi antar-kementerian dalam menentukan kewenangan dan standar perizinan PKS mengkibatkan tumpang tindih aturan.
Pada aspek kelembagaan, Ombudsman RI menilai bahwa tata kelola kelapa sawit diampu oleh banyak kementerian dengan kebijakan dan regulasi yang tidak terintegrasi sehingga menimbulkan pemasalahan implementasi di lapangan. Tidak terintegrasinya kebijakan ini berpotensi menimbulkan mal administrasi pengabaian kewajiban hukum dan tidak memberikan layanan karena adanya benturan regulasi.
Aspek kualitas bibit yang tidak sesuai ISPO sebesar Rp 81,9 triliun per tahun. Serta aspek kehilangan yield akibat grading tidak sesuai standar kematangan tandan buah segar (TBS) sebesar Rp 11,5 triliun per tahun.
Plt. Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun), Heru Tri Widarto usai menerima Hasil Kajian Sistemik tentang Tata Kelola Industri Kelapa Sawit di Gedung Ombudsman, Senin (18/11).
Heru menuturkan, Ombudsman telah melakukan kajian terhadap potensi mal administrasi dalam layanan tata kelola industri sawit, yaitu pada aspek lahan perkebunan kelapa sawit, aspek administrasi perizinan perkebunan sawit, dan tantangan aspek tata niaga perkebunan kelapa sawit.
“Dari potensi mal administrasi tersebut, Ombudsman menyampaikan saran perbaikan yang dapat dilakukan Kementan serta kementerian terkait untuk lakukan pengelolaan perkebunan sawit yang baik,” kata Heru.(DK)(AD)(SD)