Sawit Notif – Pengembangan sustainable aviation fuel (SAF) berbasis kelapa sawit dinilai sebagai langkah strategis Indonesia untuk mengurangi ketergantungan impor avtur fosil sekaligus menurunkan emisi karbon di sektor penerbangan.
Dilansir dari bpdp.or.id, Menurut laporan PASPI Monitor 2025 dalam jurnal Pengembangan SAF Sawit untuk Langit yang Lebih Hijau, pemanfaatan SAF sawit bukan hanya solusi energi, tetapi juga jawaban atas tantangan lingkungan global.
Kebutuhan avtur nasional terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk, naiknya kelas menengah, serta perkembangan sektor pariwisata yang mendorong mobilitas penerbangan. Data Kementerian ESDM dan Pertamina menunjukkan konsumsi avtur meningkat dari 3,53 juta kiloliter pada 2010 menjadi 5 juta kiloliter pada 2023. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Indonesia mengimpor avtur fosil dalam jumlah besar.
Impor avtur naik tajam dari 201,7 ribu ton (US$95,1 juta) menjadi 1,4 juta ton (US$1,08 miliar) pada 2023. Bahkan, dalam periode Januari–Juni 2025 saja, impor sudah mencapai 50 persen dari total impor tahun sebelumnya. Ketergantungan ini berpotensi memperlebar defisit migas dan membuat penerbangan nasional rentan terhadap gejolak global.
Seperti halnya keberhasilan program biodiesel, penerapan pencampuran (blending) SAF dengan avtur fosil diharapkan mampu menekan impor sekaligus menghemat devisa negara.
Transportasi udara menyumbang sekitar 2,3 persen emisi gas rumah kaca (GRK) global pada 2020. ICAO menargetkan penerbangan dunia mencapai net zero emission (NZE) pada 2050 melalui program CORSIA, dengan SAF sebagai salah satu instrumen utamanya.
Sebagai anggota ICAO, Indonesia tidak hanya menerapkan SAF dalam penerbangan domestik, tetapi juga mengembangkan industri SAF berbasis sumber daya lokal. Kelapa sawit, termasuk minyak, produk samping, dan limbahnya, diproyeksikan menjadi bahan baku utama.
Sejumlah penelitian menunjukkan, penggunaan SAF mampu memangkas emisi karbon 36–85 persen dibandingkan avtur fosil. Data IATA memperkirakan penurunan hingga 65 persen, sementara Airbus menyebut bisa mencapai 80 persen. Hal ini menegaskan peran SAF sawit sebagai solusi nyata mendukung penerbangan rendah emisi sekaligus memperkuat kemandirian energi Indonesia. (DK)(AD)(SD)