Sawit Notif – Profesor Erik Meijaard baru merilis riset yang dipimpinnya tentang dampak sejumlah minyak nabati yang ada di dunia, termasuk sawit baik dari segi lingkungan hingga keanekaragaman hayati. Dia mengatakan, latar-belakang riset ini terkait erat dengan kenaikan permintaan akan minyak nabati seiring proyeksi jumlah penduduk di dunia yang akan naik menjadi 9 miliar-10 miliar pada 2050.
Dilansir dari https://sawitindonesia.com, dalam rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia/ World Health Organization (WHO) khususnya keperluan untuk konsusmi minyak, yang menjadi sorotan adalah bagaimana mencapai itu tanpa berdampak negatif pada dunia baik dari sosial, lingkungan dan lainnya.
Untuk diketahui, Prof. Dr. Erik Meijaard adalah seorang ahli konservasi dan ekolog asal Belanda yang dikenal luas atas kontribusinya dalam pelestarian keanekaragaman hayati, khususnya di Asia Tenggara. Ia memiliki pengalaman lebih dari dua dekade dalam penelitian dan konservasi satwa liar, terutama spesies primata seperti orangutan. Meijaard telah bekerja sama dengan berbagai organisasi internasional, pemerintah, dan lembaga akademik dalam merancang strategi konservasi berbasis ilmiah. Selain aktif dalam publikasi ilmiah, ia juga terlibat dalam advokasi kebijakan lingkungan yang berkelanjutan dan berbasis bukti. Perannya penting dalam menjembatani ilmu pengetahuan dan kebijakan untuk konservasi yang efektif di wilayah tropis.
Erik mengatakan, salah satu kesimpulan risetnya yang dirilis tahun kemarin itu cukup menjadi perhatian, bahwa tidak ada satu pun jenis minyak nabati yang memilik karakteristik jahat atau baik. Karena hal tersebut sangat bergantung pada pengelolaan baik di hulu hingga hilir komoditas minyak nabati tersebut. Selain Indonesia, Erik beserta timnya melakukan keberadaan minyak nabati di sejumlah negara seperti Malaysia, Ukraina, Brasil, Argentina, Amerika Serikat hingga Kanada.
“Total yang saya riset itu 12 jenis minyak nabati terbesar di dunia. Itu semua terkait dengan tergantung kualitas pengelolaannya. Jika di Eropa dipersepsikan bahwa sawit adalah tanaman yang buruk, jahat. Minyalnya zaitun, kelapa [dipersepsikan] yang baik. Itu tidak benar,” ujar Eriksaat ditemui di Kantor PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. (ANJ), Jakarta, Selasa (12/2/2025).
Dia mengungkapkan awal mula riset terhadap keberadaan minyak nabati yang ada di dunia berawal dari sorotan terhadap kelapa sawit sebagai salah satu komoditas minyak nabati terbesar setidaknya dalam satu dedade ini. Menurutnya, pada 2017 dia mulai meneliti sawit atas resolusi The International Union for Conservation of Nature (IUCN) yang melihat banyak permasalah keanekaragaman hayati akibat tanaman asal benua Afrika tersebut.
Akhirnya pada 2018 hasil risetnya tersebut terbit dalam Bahasa Inggris dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan Spanyol.
“[Namun kita menyadari] Dalam studi itu kita fokus pada sawit dan keanekaragaman hayati itu ternyata sempit. Karena di dalam dunia minyak nabati itu ada tanaman lain yang ternyata bisa buat minyak juga dan dampak bukan hanya lingkungan saja, tapi ada sosial hingga nutrisi,” tutur Erik.
“Makanya saya menghimpun atau mencari dana untuk studi lagi agar melihat minyak nabati yang penting lainnya dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati, sosial, human rights, ekonomi dan lain-lain,” lanjut Profesor Tamu di Universitas Queensland Australia ini.
Akhirnya riset mengenai dampak minyak nabati terhadap lingkungan itu rilis pada 2024 dan Profesor Kehormatan di Durrell Institute of Conservation and Ecology di University of Kent itu pun berkesempatan memaparkan poin penting penelitiannya di acara ICOPE (International Conference of Oil Palm and Environment) di Bali yang berlangsung 12-14 Februari 2025.
Menurutnya, dampak negatif mengenai keberadaan Perkebunan tidak terjadi hanya di sawit, tapi ada di Perkebunan minyak nabati lainnya seperti di zaitun, kedelai, kacang, atau pun bunga matahari.
“Kalau pengelolaannya tidak bagus itu dampaknya juga jadi negatif. Kalau pengelolaannya bagus dampaknya positif,” imbuhnya..
Yang menarik dari sawit, menurut Erik adalah sawit memiliki produktivitasnya sangat tinggi dibanding minyak nabati lainnya, tapi efisien dalam penggunaan lahan. Sawit dapat menghasilkan 3,8 ton –4,2 ton minyak per hektar per tahun. Jauh lebih tinggi dibanding minyak kedelai yang hanya menghasilkan 0,5 ton per hektar per tahun.
“Untuk mencapai produksi 300 juta ton pada 2050, jika pakai kedelai akan butuh 200 juta ha lahan dibanding memakai sawit. Itu besar. Kemungkinan akanada 80 juta ha lahan deforestasi di dunia. Jadi pilihan itu penting bagaimana akan future demand untuk minyak. Begitu inti laporannya,” ungkap Erik.
Mengapa isu lingkungan terus menyerang sawit?
Pendiri Borneo Futures Initiative yang sudah 33 tahun berpengalaman bekerja di bidang konservasi satwa liar tropis mengatakan ada dua faktor mengapa sawit terus disorot dan diserang mengenai isu lingkungan baik oleh media maupun NGO. Padahal, menurutnya kebun minyak nabati lain seperti kedelai, kacang atau jagung lahannya jauh lebih luas ketimbang sawit.
“Karena sawit ada di lahan kebun yang cukup luas. Hari ini hutan misalnya, tebang habis, besok lusa ada sawit. Itu gampang untuk diukur. Beda misalnya dengan kelapa, itu biasanya hanya di kebun-kebun skala kecil, misalnya 100 ha, 50 ha, jumlah luasnya sebenarnya sama kelapa dengan sawit itu alokasi lahannya jika ditotal. Tapi karena [berpencar-pencar] tidak gampang untuk diukur,” jelas Erik.
Selain kedelai, Erik mengatakan kacang juga memiliki luas yang lebih besar dibanding sawit. Namun, ujar dia, hal tersebut tidak dipahami oleh masyarakat Eropa termasuk negara kelahirannya, Belanda yang sering mengonsumsi produk olahan kacang berlabel ‘Free Palm Oil’.
“Padahal kacangnya dari mana, mereka engga tahu. Lahan kacang lebih luas dari pada sawit. Kacang tumbuhan tropis, tapi tidak ada informasi hubungan antara kacang dengan deforestasi. Sama sekali tidak ada informasi. Kenapa saya tidak tahu, kenapa orang menganggap tidak penting, mungkin kacang berada dalam lahan skala kecil, 1-2 ha, kebun kecil disini, disana, tahun ini kacang, tahun depan jagung, berubah ubah juga,” ujarnya.
“Jadi untuk media juga gampang membuat gambaran tentang dampak sawit, ada perbatasan hutan ada orang utan terus sebelahnya sawit. Black and white. Padahal kedelai jauh lebih luas dibanding sawit. bahkan jagung juga luas untuk minyak tapi tidak ada isu-isu,” tuturnya.
Erik juga menyoroti juga klaim-klaim lama soal sawit ternyata hanya sebatas mitos. Namun, hal tersebut dipercayai mayoritas masyarakat khususnya di Eropa. Misalnya, dia mengatakan bahwa World Wide Fund for Nature (WWF) pernah menyebut bahwa 50 persen produk-produk di supermarket mempunyai kandungan sawit.(AD)(DK)(NR)