Sawit Notif – Industri kelapa sawit terbukti memiliki kontribusi besar dalam mendukung upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di tingkat nasional maupun global.
Pengendalian emisi GRK sendiri menuntut dua pendekatan sekaligus: menyerap kembali emisi yang sudah terlepas ke atmosfer, serta mencegah tambahan emisi baru, terutama yang bersumber dari energi fosil (PASPI, 2021).
Dilansir dari bpdp.or.id, Sejumlah penelitian internasional, seperti IEA (2016) dan Olivier dkk. (2022), menegaskan bahwa sektor energi—khususnya penggwdwunaan bahan bakar fosil—menjadi penyumbang utama emisi GRK dunia. Data World Resources Institute (2021) mencatat sektor ini menyumbang hingga 73,2 persen dari total emisi global, mencakup transportasi, industri, hingga kebutuhan energi bangunan.
Pada 2022, total emisi GRK dunia mencapai 53,8 Gt CO2 eq, di mana 76 persen di antaranya atau 41,2 Gt CO2 eq berasal dari energi fosil (European Commission, 2023; IEA, 2023). Jumlah ini melonjak hampir 1,5 kali lipat dibanding tahun 2000 yang hanya sebesar 28,1 Gt CO2 eq (PASPI, 2023).
Menurut PASPI Monitor (2015), industri sawit masuk dalam jajaran sektor strategis yang mampu membantu menekan emisi GRK melalui dua jalur utama.
Pertama, fungsi perkebunan sawit sebagai penyerap karbon alami. Seperti tanaman lain, kelapa sawit menyerap karbondioksida (CO2) dari atmosfer lewat proses fotosintesis, lalu menyimpannya dalam bentuk biomassa, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah (Hardter dkk., 1997; Henson, 1999; Fairhurst & Hardter, 2003). Dengan siklus hidup yang panjang, akar yang dalam, serta produktivitas tinggi hingga 25 tahun lebih, kelapa sawit berperan sebagai “mesin biologis” penyerap karbon.
Riset Henson (1999) menunjukkan rata-rata penyerapan karbon bersih oleh kebun sawit mencapai 64,5 ton CO2 per hektare per tahun. Angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan hutan tropis, yang berarti kebun sawit berperan penting sebagai penampung karbon sekaligus penghasil oksigen (PASPI Monitor, 2021).
Kedua, kontribusi melalui kebijakan mandatori biodiesel. Pemanfaatan biodiesel berbasis minyak sawit sebagai pengganti atau campuran energi fosil terbukti menekan emisi CO2 secara signifikan (PASPI, 2023).
Dibanding biodiesel dari kedelai, rapeseed, atau bunga matahari, biodiesel sawit menghasilkan emisi yang lebih rendah. Jika dibandingkan dengan solar fosil, biodiesel sawit memberikan penghematan emisi yang jauh lebih besar. Penelitian European Commission Joint Research Centre (2013) mengungkapkan, biodiesel sawit dari pabrik yang menggunakan teknologi methane capture mampu mengurangi emisi hingga 62 persen.
Bahkan, tingkat efisiensi biodiesel sawit melampaui biodiesel rapeseed (45 persen) maupun kedelai (40 persen), antara lain karena proses produksi minyak sawit menghasilkan emisi lebih kecil daripada minyak nabati lainnya (Beyer dkk., 2020; Beyer & Rademacher, 2021; PASPI, 2023).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit tidak hanya berperan sebagai penyerap karbon bersih, tetapi juga mendukung transisi energi melalui biodiesel hemat emisi. Hal ini menegaskan posisi industri sawit sebagai bagian dari solusi global dalam menekan laju emisi gas rumah kaca dan mengurangi dampak perubahan iklim (PASPI, 2015).(DK)(AD)(SD)