Turunnya harga CPO (crude Palm Oil) dunia membuat keadaan ekonomi petani yang menanam sawit di Bengkulu menjerit. Harga jual tandan buah segar (TBS) yang mayoritas di bawah Rp1.000 kepada perusahaan minyak kelapa sawit di Bengkulu telah menimbulkan kegaduhan di kalangan petani.
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah bersikap. Ia bahkan mengancam akan mencabut izin perkebunan kelapa sawit yang tidak mengikuti kesepakatan hasil rapat baru-baru ini mengenai penetapan TBS di tingkat pabrik minyak kelapa sawit sebesar Rp1.200 per kilogram.
Laporan sementara yang diperoleh oleh mantan wakil bupati Bengkulu Selatan itu ada 43 perusahaan yang membandel. Mayoritas tidak tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Bengkulu.
Rohidin berharap, semua perusahaan dapat mengikuti harga TBS yang akan ditetapkan setiap bulan. Namun kepada petani, politisi Partai Golkar ini berharap agar para petani sawit mendapatkan pembinaan mulai dari pola panen hingga peningkatan kualitas kebun.
Sawit punya andil besar dalam menopang perekonomian bukan hanya di Bengkulu, tapi di Indonesia. Misalnya pada tahun 2013 saja, produksi sawit di Indonesia mencapai 27,8 juta ton dengan keuntungan devisa dari ekspor sawit mencapai 15,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 175 triliun.
Namun sekonyong-konyong mensejahterakan rakyat, industri sawit membawa banyak konflik di kalangan rakyat berupa perampasan lahan, penyempitan lahan pertanian, kerusakan ekologis, mempertajam kepemilikan tanah, dan ladang subur bagi praktik korupsi.
Sawit sendiri bukan merupakan industri yang berkelanjutan dan hanya menggantungkan pendapatan Indonesia sebagai penghasil komoditas mentah dan murah yang laku di pasar dunia. Sekitar 90 persen hasil produksi minyak sawit dari 22 juta ton per tahun di ekspor ke luar negeri dan sebagian besar lahan sawit di Indonesia dikuasai oleh pihak asing dan swasta.
Pun demikian, produksi sawit tidak bisa dihapuskan begitu saja. Ada jutaan rakyat yang bergantung pada produksi sawit. Apa yang harus dilakukan sekarang setidaknya dengan mengambil langkah-langkah solutif untuk menyelamatkan harga sawit dan mendorong agar Pemerintah dapat menciptakan iklim tata kelola sawit agar lebih berkeadilan, berkelanjutan dan berorientasi kepada ramah lingkungan.
Apa yang Plt Gubernur Rohidin Mersyah lakukan dengan penetapan harga TBS patut diapresiasi, namun hanya efektif sebagai penyelamat harga sawit dalam jangka pendek saja. Bila Plt Gubernur memiliki komitmen kerakyatan, seharusnya Rohidin lebih jauh memberikan kredit kepada petani sawit agar bisa menjalankan produksinya dengan baik.
Bila petani mendapatkan dukungan modal usaha misalnya dengan contoh program Satu Miliar Satu Kelurahan (Samisake) milik Pemerintah Kota Bengkulu, maka hasil produksi sawit dapat diharapkan mendapatkan kualitas yang baik dan keuntungan dapat diarahkan kepada produsen sawit rumah tangga, bukan kepada segelintir orang kaya yang punya perusahaan sawit.
Lebih jauh Pemerintah Provinsi Bengkulu harus bisa menggalang Pemerintah Kabupaten/Kota untuk berkooperasi membangun industri pengolahan sawit beserta produk turunannya seperti minyak goreng. Ini adalah cara permanen untuk menyelamatkan harga sawit sekaligus menjadi prasyarat untuk pengembangan industri sawit yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan menjual harga sawit petani Bengkulu setinggi-tingginya.
sumber: pedomanbengkulu.com