Jakarta – Maraknya konflik lahan sawit yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini, tidak terlepas dari kesalahan pemerintah masa lalu dalam pemberian izin. Karena itu, dalam penyelesaian konflik lahan saat ini, pemerintah harus berdiri ditengah-tengah dan bersikap adil agar semua pihak tidak dirugikan dan mempunyai jalan keluar.
Pernyataan itu dikemukakan peneliti Daemeter Consultant Godwin Limberg serta Rimawan Pradiptya dan Rando Zakaria dari Lingkar Pembaruan Desa Agraria (KARSA) dalam sosialisasi hasil studi tentang “Kerugian dan Biaya Tanah dan Sumber Daya alam” yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Godwin Limberg mengungkapkan, berdasarkan lima studi kasus yang dilakukannya, tangible cost dari konflik sosial bekisar US$ 70,000 hingga US$ 2,500,000. Tangible cost tersebut mewakili 51% hingga 88% dari biaya operasional dan 102% hingga 177% dari biaya investasi per hektar per tahun.
“Jika dihitung per tahun, untuk satu kejadian konflik, tangible cost berkisar antara US$ 500 hingga US$ 15,000 per hektar per konflik,” kata dia.
Godwin berpendapat, biaya yang ditanggung korporasi sangat signifikan, dan merupakan penghambat produktivitas perusahaan.
Bahkan, biaya itu berpotensi membengkak. Pasalnya hasil studi kasus menunjukkan bahwa 57% korporasi yang mengalami konflik awal, dapat mengalami konflik berulang pada kasus-kasus yang dianggap telah selesai.
Dia menambahkan, konflik tersebut cenderung terjadi pada masa produksi. Dari semua hasil evaluasi studi kasus yang kami lakukan, konflik umumnya terjadi pada masa-masa awal produksi.
Biasanya, pada masa itu, korporasi menanggapi agar tidak menghilangkan pendapatan dan keuntungan jika operasional sampai terhenti.
Godwin juga menyarankan, pentingnya pemerintah perlu membangun kapasitas pemangku kepentingan lokal.”Harus ada pihak di daerah yang bisa bertindak sebagai penengah antara korporasi dan masyarakat dalam sengketa lahan agar penyelesaiannya tidak berlarut-larut.”
Rimawan Pradipti mengatakan, pemerintah harus membenahi tata kelola pemberian izin lahan untuk menghindari potensi konflik kedepan. Hal itu berarti perlu institusi-intitusi yang kuat yang bertanggung jawab dalam mengatur perizinan agar perizinan lahan berada di lokasi yang clear and clean.
”Saat ini, institusi-intitusi yang ada masih rapuh sehingga mekanisme pasar tidak berjalan dengan baik akibat banyaknya celah yang bisa disalahgunakan.”
Rando Zakaria mengatakan, penyelesaian konflik lahan bukan masalah yang mudah. Karakteristik utama dari konflik adalah sifat konflik yang cenderung dinamis.
Sejalan dengan waktu, konflik yang semula sederhana dapat teresakalasi rumit. Namun disisi lain, konflik yang berkepanjangan dapat reda secara drastis maupun gradual.
Namun demikian, kata Rando, semua pihak sepakat bahwa konflik menimbulkan biaya yang sangat besar dan harus ditangani segera karena merugikan semua pihak.
sumber: industry.co.id