Indonesia Datangkan 6.000 Indukan Serangga Penyerbuk dari Tanzania

serangga-penyerbuk

Sawit Notif – Pemangku kepentingan industri sawit bekerjasama menyelesaikan tantangan polinasi (penyerbukan) sebagai bagian penting peningkatan produktivitas sawit nasional. Dr. Dwi Asmono, Ketua Bidang Riset dan Pengembangan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) menjelaskan bahwa kegiatan introduksi serangga penyerbuk dilakukan Indonesia pada 1983. Dilansir dari sawitindonesia.com, jenis spesies yang didatangkan saat itu adalah Elaeidobius kamerunicus.

“Tim Introduksi saat itu dipimpin oleh Dr. Syed yang dibantu Pak Lubis dan Pak A.Sipayung. Jadi, ada rentang waktu cukup lama kita tidak lakukan introduksi serangga penyerbuk. Proses introduksi ini lazim dilakukan negara produsen sawit untuk peningkatan produktivitas sawit,” ujarnya.

Dr. Dwi Asmono mengatakan bahwa proses introduksi telah dirancang semenjak Agustus 2024. Selanjutnya dibentuklah Konsorsium Elaeidobius yang melibatkan berbagai pihak tidak hanya perusahaan sawit, adapula unsur Kementerian Pertanian, Badan Karantina Indonesia, PT Riset Perkebunan Nusantara, PPKS, BPDP, dan asosiasi keilmuan seperti Perhimpunan Ilmu Pemuliaan dan Perbenihan Sawit Indonesia (PIPPSI) dan Perhimpunan Entomologi Indonesia.

Konsorsium menjajaki kerjasama introduksi serangga penyerbuk dengan sejumlah negara di Afrika Barat dan Tengah antara lain Nigeria, Kamerun, Benin, dan Tanzania. Dwi Asmono menjelaskan Tanzania dipilih karena memiliki kepentingan untuk mengembangkan perkebunan sawit mereka juga. Selain itu, Konsorsium juga melakuan kajian pustaka terkait serangga penyerbuk di Tanzania.

“Awalnya terdapat 7-8 spesies serangga penyerbuk yang menjadi bahan kajian tim. Dari jumlah tadi diseleksi lagi, akhirnya diputuskan menjadi 3 spesies yang diintroduksi ke Indonesia,” ujar Dwi.

Ketiga spesies tersebut adalah Elaeidobius Camerunicus, Elaeidobius Subvittatus, dan Elaedobius Plaggiatus. Dwi menjelaskan setiap spesies akan membawa 2.000 indukan ke Indonesia. Total keseluruhan akan diintroduksi 6.000 indukan.

“Lalu seluruh indukan serangga  ini akan bereproduksi menjadi 800 ribu sampai 1 juta serangga penyerbuk. Setelah reproduksi, serangga penyerbuk akan didistribusikan ke provinsi sentra sawit di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi,” tambahnya.

Dwi Asmono berharap kerja keras Konsorsium Serangga Penyerbuk ini dapat menjadi bagian untuk mendongkrak produktivitas sawit nasional. Salah satu faktor mengembalikan produktivitas dengan mengoptimalkan kegiatan polinasi. Sebab polinasi dengan serangga penyerbuk ini lebih efektif dan efisien dibandingkan cara manual.

Sementara itu Head of Crop Protection Department  SMART Research Institute  Mohammad Naim saat menjadi pembicara International Conference on Oil Palm & Environment (ICOPE) 2025 pada pertengahan Februari 2025 menyebutkan bahwa serangga penyerbuk yang berada di Indonesia menghadapi tantangan perubahan iklim ekstrem yang berdampak kepada hasil kerja penyerbukan. Penelitian ini dilakukan dengan menguji dampak suhu ekstrem pada serangga penyerbuk dalam berbagai kondisi selama 14 hari. Empat perlakuan suhu diterapkan, yaitu Suhu Ruangan (26-30°C), Suhu Dingin (15-10°C), Suhu Panas (30°C di sore hari hingga pagi), Suhu Ekstrem (43°C).

Hasilnya menunjukkan bahwa Elaedobius masih dapat bertahan pada suhu ruangan hingga 30°C tanpa perubahan signifikan dalam siklus hidupnya.

Namun, pada suhu 43°C, hampir semua serangga penyerbuk mati dalam waktu singkat. Bahkan, ketika larva dipaparkan pada suhu ekstrem selama 1 hingga 5 hari, tidak ada larva yang bertahan untuk menjadi Elaedobius dewasa.

“Ini menunjukkan bahwa gelombang panas dapat menghambat perkembangan Elaedobius dan mengurangi efisiensi penyerbukan,” jelas Naim.

Sementara itu, pada suhu dingin (15°C), sebagian besar larva tetap hidup (hingga 93%), meskipun mengalami perpanjangan siklus hidup. Paparan suhu ini selama 14 hari tidak menghambat perkembangan Elaedobius secara keseluruhan, tetapi memperlambat proses metamorfosis mereka.

Temuan ini menjadi perhatian serius bagi industri sawit, terutama di tengah meningkatnya suhu global. Di Asia Tenggara, gelombang panas telah tercatat dengan suhu ekstrem, seperti 53°C di Filipina dan 43°C di Lampung serta Sumatera Selatan. (AD)(SD)(DK)(NR)