DPR Nilai Biomassa Berpeluang Besar Perkuat Energi Daerah dan Nasional

biomassa-energi

Sawit Notif – Anggota Komisi XII DPR RI Yulisman menilai pengembangan energi biomassa perlu dipercepat sebagai bagian dari upaya memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus mendorong hilirisasi industri berbasis sumber daya lokal yang bernilai tambah dan berdaya saing. Menurutnya, biomassa memiliki karakteristik pasokan dan biaya yang relatif stabil sehingga layak menjadi salah satu pilar dalam transisi energi Indonesia.

Dilansir dari antaranews.com, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, Yulisman menyampaikan bahwa biomassa menawarkan alternatif energi yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga lebih terkendali dari sisi ketersediaan dan harga. Hal ini disebabkan sumber biomassa berasal dari limbah perkebunan dan pertanian yang melimpah di dalam negeri, sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh dinamika pasar global seperti halnya energi fosil.

Ia menjelaskan, pemanfaatan biomassa dalam sistem kelistrikan nasional saat ini sudah mulai berjalan, salah satunya melalui penerapan skema co-firing di sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Skema ini telah diimplementasikan di beberapa daerah, termasuk di Provinsi Riau, dan menunjukkan bahwa biomassa mampu terintegrasi dengan sistem energi yang ada serta memberikan kontribusi nyata bagi ketahanan energi di tingkat regional.

Yulisman menambahkan, arah kebijakan ketenagalistrikan nasional juga telah memberikan ruang yang cukup besar bagi energi baru dan terbarukan (EBT). Hal tersebut tercermin dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang menempatkan EBT sebagai tulang punggung penambahan kapasitas pembangkit dalam satu dekade ke depan.

Dalam dokumen tersebut, sekitar 76 persen dari total penambahan kapasitas pembangkit hingga 2034 ditargetkan berasal dari sumber energi terbarukan, termasuk bioenergi di samping tenaga surya, air, angin, dan panas bumi. Sementara itu, sisa kapasitas pembangkit baru masih akan dipenuhi oleh pembangkit berbasis fosil yang berfungsi untuk menopang beban puncak dan menjaga keandalan sistem kelistrikan.

Meski demikian, Yulisman mengingatkan bahwa peran bioenergi, khususnya biomassa, masih perlu ditegaskan lebih lanjut dalam implementasi kebijakan. Ia menilai penguatan kontribusi biomassa dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas pembangkit biomassa murni maupun perluasan skema co-firing di PLTU dengan memanfaatkan feedstock lokal yang berkelanjutan.

Sebagai contoh, Provinsi Riau dinilai memiliki potensi biomassa yang sangat besar dari limbah industri kelapa sawit dan kelapa. Potensi tersebut tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik, tetapi juga sebagai sumber energi bagi industri hilir yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Dengan pengelolaan yang tepat, biomassa dapat membantu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pasokan energi dari luar sekaligus memperkuat ketahanan energi lokal.

Untuk itu, Yulisman menekankan pentingnya dukungan kebijakan yang konsisten, kepastian regulasi, serta pemberian insentif investasi yang menarik agar pengembangan biomassa dapat berjalan secara berkelanjutan. Ia berharap biomassa tidak hanya dipandang sebagai energi alternatif pelengkap, melainkan ditempatkan sebagai bagian integral dari strategi ketahanan energi dan hilirisasi nasional yang jelas, terukur, dan terintegrasi.(SD)(DK)(AD)