Sawit Notif – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mendukung kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang berlaku mulai 1 Januari 2025. Akan tetapi, APKASINDO berharap kenaikan PPN tersebut tidak dibebankan kepada kalangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Dilansir dari dari sawitindonesia.com, Ketua Umum APKASINDO Dr. Gulat Manurung, MP., CIMA., CAPO, menilai kenaikan PPN 12 persen memang dibutuhkan negara untuk membiayai pembangunan.
“Menurut saya memang enggak masalah naik PPN. Karena memang negara ini membutuhkan dana dari partisipasi semua anak bangsa. Diutamakan dulu pajak-pajak dari yang besar melalui PPN,” ujar Gulat.
Hanya saja, Gulat mengusulkan agar PPN 12 persen tidak diberlakukan untuk UMKM, bahkan justru harus dikurangi pajaknya. Menurutnya, pemerintah harusnya mengoptimalisasi bantuannya kepada UMKM salah satunya melalui kredit KUR agar naik kelas.
“Tapi kalau saya sarankan untuk UMKM jangan dibebankan kenaikan PPN ini, kalau bisa malah dikurangi PPN-nya dengan tujuan afirmatif, biar lebih bersaing produk UMKM kita,” ungkapnya.
Kendati begitu, Gulat juga mengamini kenaikan PPN 12 persen tersebut bakal berdampak terhadap para petani sawit, khususnya pada harga tandah buah segar (TBS). Sebab, apapun beban di hilir, itu akan ditimpakan ke sektor hulu atau TBS.
“Nggak masalah, namun juga harus diiringi dengan strategi menjaga harga TBS pekebun supaya establish di atas Rp3.000 per kg. Kalau harga TBS di bawah Rp2.500 memang berat,” ucapnya.
“Jadi pertambahan PPN ini secara debet-kredit akan kami masukkan ke debet atau biaya produksi total. Artinya, jika biaya produksi bertambah maka margin petani akan berkurang,” tambah Gulat.
Dia mencontohkan, saat ini, harga TBS Rp3.200 untuk petani swadaya di Sumatera dan beberapa pulau di Kalimantan dan harga pokok produksinya sebesar Rp2.100, maka marginnya sebesar Rp1.100. dengan perhitungan tersebut, artinya pendapatan petani akan jatuh di kisaran Rp800 ribu/ha/bulan.
“Dengan rerata kepemilikan lahan petani 4,2 ha maka pendapatan petani sawit rerata Rp3,36 juta/bulan, lumayanlah sedikit diatas UMR Riau Rp3.451.584,” tuturnya.
“Nah apa jadinya jika harga TBS Pekebun hanya Rp2.400/kg, maka petani hanya membawa uang ke rumah Rp300/kg TBS-nya atau Rp240.000/ha/bulan atau jika 4,2 ha maka pendapatan perbulan pekebun adalah Rp1.008.000,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Gulat mengatakan sangat perlu menjaga harga TBS agar pekebun bersemangat membayar pajak-pajak seperti PPN tadi, selain menjaga harga TBS juga harus dilakukan strategi optimalisasi produktivitas kebun sawit rakyat.
Menurut dia, menjaga keberlangsungan hidup petani sawit, sangat bersesuaian dengan poin ke 6 Asta Cita Presiden Prabowo yaitu membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.
“Itu harus menjadi ‘googlemap’ semua menteri/L Kabinet Merah Putih, pembantu Presiden, sebab visi misi itu hanya visi Presiden Republik Indonesia”, tandasnya.(AD)(SD)