Sawit Notif – Kebijakan pemberian Dana Bagi Hasil (DBH) kelapa sawit dibayangi oleh ancaman deforestasi, karena tidak menutup kemungkinan daerah yang tidak menguntungkan ikut berpartisipasi membabat hutan demi memperoleh tambahan pendapatan.
Mengutip Katadata.co.id, Pengamat mengingatkan, moratorium sawit berjalan optimal, sementara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta dana khusus untuk kawasan non penghasil yang masih melestarikan hutan.
Meneteri Keuangan, Sri Mulyani juga sudah menyiapkan anggaran Rp 3,4 triliun yang akan dialihkan ke 350 daerah penghasilan sawit dan daerah yang berbatasan dengan daerah penghasil. Jumlah yang diberikan tergantung pada rumus perhitungan dan kinerja, namun masing-masing daerah akan menerima minimal Rp 1 miliar.
Dolfie Othniel Fredric Palit ikut menjelaskan, “sebab adanya karakeristik daerah tertentu yang punya hutan lindung, punya lahan produktif, punya cagar budaya dan sebagainya. Namun, karena tidak dapat insentif, mereka kemudian berlomba-lomba mengalihkan semuanya ke sawit.”
Maka, menurut Tauhid Ahmad sebagai Direktur Eksekutif INDEF memaparkan bahwa kebijakan DBH itu seharusnya tidak serta merta mendorong penambahan lahan sawit baru. Alasannya, karena pemerintah sudah memiliki kebijakan moratorium sawit yang menahan penerbitan izin baru lahan sawit.
Namun, moratorium itu berakhir pada September 2021 dan belum ada kepastian hingga saat ini. Maka itu, Dolfie menyampaikan pendapatnya agar kemenkeu memberi insentif bagi daerah non sawit yang memiliki kawasan hutan lindung atau cagar alam. Sebab, jika tidak ini menimbulkan kekhawatiran.
Merespon hal tersebut, Kemenkeu Sri Mulyani menjelaskan bahwa mereka akan lihat secara keseluruhan set DAK dan instrumen yang lain untuk bisa tetap menjaga hutan, terutama hutan lindung. Ia juga mengatakan bahwa KLHK sedang sangat serius membangun mekanisme carbon market. Jadi instrumennya akan terus dikombinasikan dengan berbagai hal yang dimiliki.
Sumber: Katadata.co.id