Wacana ingin menjadikan kelapa sawit sebagai tanaman kehutanan yang disampaikan oleh Next Gubri Zaman Now, Lukman Edy, mendapat sambutan baik dari para petani sawit.
Petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyatakan mengapresiasi wacana ini. Pengelompokan sawit menjadi tanaman hutan, seperti yang sempat diutarakan Calon Gubernur Riau nomor urut 2 di helat Pilkada Riau 2018 mendatang tersebut, dinilai Apkasindo sebagai langkah yang brilian dan tepat.
Alasannya, karena tuduhan deforestasi akan menjadi pintu masuk untuk menghancurkan masa depan industri sawit Indonesia.
“Isu deforestasi salah satu pintu masuk ‘asing’ untuk menghantam industri sawit. Masalahnya pintu masuk tersebut justru dibiarkan terbuka, sehingga dengan mudah dihantam kampanye deforestasi,” ungkap Gulat ME Manurung, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Apkasindo Riau, Rabu (18/4/2018).
Gulat mengatakan, petani sawit mendukung usulan pengelompokan sawit ke dalam kelompok tanaman kehutanan. Jika sawit sudah masuk dalam kelompok tanaman kehutanan, maka 75% ‘pintu asing’ akan tertutup dengan sendirinya, dan luas hutan Indonesia akan bertambah seluas 14 juta hektare.
Seperti diketahui, kalangan akademisi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerjasama dengan Pusat Kajian dan Advokasi Konservasi Alam, berencana menyusun naskah akademik untuk menjadikan sawit sebagai tanaman hutan. Terobosan ini diambil untuk menyelesaikan persoalan kebun sawit yang dimasukkan menjadi kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Naskah akademik dapat membantu supaya sawit ditanam pada kawasan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Sesuai pengaturan tata ruang mikro hutan tanaman, hutan tanaman sawit ini merupakan lanskap mozaik dengan jenis-jenis tanaman lainnya.
“Kita semestinya percaya dan yakin bahwa dari berbagai hasil kajian akademis mengemukakan bahwa sawit justru penyelamat hutan daripada dibiarkan terlantar. Bahkan sawit lebih baik dibandingkan tanaman HTI yang setiap 6-7 tahun direplanting (panen) sementara sawit di replanting setelah berumur 25-28 tahun,” tegas Gulat.
Menurut Gulat, sudah saatnya rakyat Indonesia menyadari bahwa Sawit Adalah Indonesia dan Indonesia adalah Sawit. Karena itu, jangan terulang lagi masa gemilang komoditas perkebunan seperti tebu dan cengkeh hanya tinggal kenangan.
“Untuk menutup pintu ‘asing’ tersebut segera masukkan sawit menjadi tanaman hutan,” tegasnya.
Langkah untuk mewujudkan naskah akademik yang dimaksud sudah dilakukan beberapa waktu lalu. Dimana Fakultas Kehutanan IPB bekerjasama dengan Pusat Kajian dan Advokasi Konservasi Alam, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI dan Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan mengusung tema “Sawit dan Deforestasi Hutan Tropika”.
FGD ini digelar di IPB International Convention Center (IPB ICC) kampus Baranangsiang Bogor, (12/4/2018) lalu. Di FGD ini ada banyak pendapat mengenai perkebunan kelapa sawit dan deforestasi hutan.
Menurut Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Dr Ir Rinekso Soekmadi MSc, komoditas perkebunan merupakan salah satu andalan dari pendapatan nasional dan devisa negara Indonesia. Dari catatan Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan Kementerian Pertanian RI, luasan perkebunan kelapa sawit terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2016, luasannya mencapai 11, 9 juta ha dan tahun 2017 meningkat menjadi 12, 3 juta ha. Dari luasan tersebut menurut sebaran wilayahnya, yang terbesar berada di pulau Sumatera sekitar 7,4 juta ha dan Kalimantan sekitar 4.3 juta ha.
“Hutan itu sendiri merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Itu semua harus dijaga kelestariannya. Sementara kebun sawit memberi pemasukan dan nilai ekonomi yang tinggi dan berarti bagi masyarakat selain sangat efisien dari segi hasil untuk lahan yang terbatas. Saat ini ada kekhawatiran menstigmatisasi seluruh tanaman padahal bukan tanamannya yang menjadi masalah, tetapi di mana kita menanamnya,” ujarnya.
Sementara itu, Pembina Pusat Kajian Advokasi dan Konservasi Alam yang juga dosen di Fakultas Kehutanan IPB, Prof Dr Yanto Santoso mengharapkan semoga rumusan FGD ini menghasilkan rumusan penting bagi pemerintah, pengusaha, peneliti, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemangku kepentingan lainnya dalam menjaga dan mengawal perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
“Sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia, deforestasi itu merupakan alih fungsi atau perubahan fungsi dari kawasan hutan menjadi peruntukan non hutan,” ucapnya.
“Dari hasil survei ke lapangan tersebut, saya berani memastikan bahwa sawit bukan merupakan penyebab deforestasi di Indonesia. Lahan perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia tidak berasal dari kawasan hutan,” paparnya lagi.
Selain itu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian RI, Dr Ir Wistra Danny, menyampaikan kelapa sawit Indonesia terus berkembang pesat dan menjadi salah satu komoditi yang strategis dalam menunjang perekonomian nasional. Keberadaan industri perkebunan kelapa sawit yang disertai dengan berbagai produk turunannya, harus diakui masih menjadi unggulan utama produk komoditas Indonesia.
“Perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) masih menjadi salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia,” katanya.
Hingga tahun 2017, lanjutnya, Indonesia masih tercatat sebagai eksportir terbesar di dunia untuk komoditas tersebut. Ini berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Perkebunan kelapa sawit juga bukan penyebab deforestasi hutan tropika, bukan penyebab penurunan keanekaragaman hayati dan bukan penyebab kebakaran hutan.
“Sebaliknya kelapa sawit adalah promotor dari pelindung benang alam yang bernilai konservasi hutan yang tinggi, yang senantiasa memberikan manfaat bagi kehidupan,” terangnya.
Pada kesempatan itu disimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan tanaman yang bersifat strategis dalam menopang kehidupan masyarakat yang berhasil dikelola dengan baik dan bijaksana. Terjadinya kerusakan hutan lebih banyak karena mis-manajemen pada saat pengelolaan lahan untuk pembangunan dan bisnis kayu secara besar-besaran.
Oleh karena itu, sawit tidak sepenuhnya sebagai penyebab deforestasi karena sebagian besar perkebunan kelapa sawit menempati hutan yang sudah rusak. Sementara masyarakat lebih banyak beralih ke kebun sawit karena tanaman tersebut mampu menghasilkan nilai ekonomi yang menguntungkan dan dapat memberikan kehidupan yang layak.
“Maka harapannya ke depan pengelolaan lahan kebun sawit, bila masih dimungkinkan, terus dikembangkan dengan baik dan harus berbasis lanskap,” tutup Dr Rinekso.
sumber: goriau.com