Lika Liku Menuju Sawit Berkelanjutan

Lika Liku Menuju Sawit Berkelanjutan

Jakarta, Mongabay Indonesia – Pengembangan perkebunan sawit berlangsung begitu cepat dalam dua dekade terakhir. Data Kementerian Pertanian pada 2019, kebun sawit di Indonesia mencapai 16 juta hektar lebih. Pemerintah perlu serius menekan risiko dari kehadiran industri sawit baik ekologi, sosial dan ekonomi dengan implementasi standar wajib sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO). Tata kelola perkebunan sawit yang baik bisa meminimalkan dampak lingkungan dan memberikan kehidupan lebih baik.

Sampai 2020, implementasi tata kelola sawit berkelanjutan masih rendah, baik yang bersifat market driven maupun state driven. Dari 16,38 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia, sertifikasi yang bersifat sukarela seperti melalui Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) baru 19% atau 3,2 juta hektar. Secara mandatori ada 32% atau 5,1 juta hektar.

Sekitar 40% luasan kebun sawit di Indonesia, dari skala kecil. Pekebun skala kecil atau petani mengalami banyak tantangan dalam membenahi tata kelola.

Studi berjudul The Problems of Acceptance of Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) in International Market and its Complexity on the Ground menyebutkan, implementasi ISPO rendah karena memiliki tantangan dari berbagai level, baik lokal, nasional maupun internasional.

“Pada level lokal ada praktik-praktik ekspansi yang bersifat senyap dan informalitas agrarian atau banyak lahan yang open acess,” kata Rizka Amalia, peneliti studi ini dari Institut Pertanian Bogor.

Kondisi ini menyebabkan kesulitan dalam pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO maupun ketidaksiapan serta ketidaktundukan petani pada ISPO.

Pada level nasional, ada perbedaan kepentingan dan persepsi yang saling bertentangan antar aktor. DI level internasional, ada isu keberterimaan ISPO.

Studi ini mengevaluasi bagaimana kompleksitas implementasi ISPO ini karena rezim perizinan berbeda, mulai dari surat tanda daftar budidaya (STDB), surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL), sertifikat hak milik (SHM) dan lain-lain. Tiap jenis dokumen ini, katanya, memiliki kebijakan berbeda pada tingkat tapak.

Dia contohkan, banyak lahan petani tidak memiliki sertifikat lahan karena ada di kawasan hutan. Pemerintah ada program perhutanan sosial dan tanah untuk obyek agraria (TORA). Pemerintah berupaya cari cara dengan pakai jalur kebijakan ini.

Sayangnya, kata Rizka, kebijakan itu tak efektif menyelesaikan masalah di tingkat tapak karena aturan itu memiliki prasyarat tertentu.

“Jadi bisa mempertanyakan kredibilitas sawit Indonesia.”

Kompleksitas implementasi ISPO juga berdampak pada ketidakefektifan standar ini dalam menciptakan sawit berkelanjutan. Efeknya, terjadi ketidaktertaturan dalam ekspansi perkebunan sawit tingkat lokal.

Studi lain, yang publis di Environmental Research Letters menyoroti sertifikasi RSPO. Studi ini mengevaluasi bagaimana pembangunan dan dampak lingkungan dengan RSPO pada masyarakat lokal di Sumatra dan Kalimantan, dua pulau yang mengalami deforestasi tertinggi karena ekspansi sawit. Penelitian ini dengan data 2003-2014, mencakup atas 7.983 desa (Sumatra) dan 3.545 desa (Kalimantan).

Menurut penelitian ini, sertifikasi RSPO ini dapat melestarikan lebih banyak hutan primer tersisa di desa-desa Sumatra dan mengurangi pencemaran tanah desa-desa di Kalimantan sebesar 21%. Namun, kecil dalam mengurangi deforestasi pada tingkat desa, yakni 0,05% di Sumatra dan 1% di Kalimantan.

Janice Ser Huay Lee, ilmuwan pertanahan dari Nanyang Technological University of Singapure juga salah satu peneliti studi ini mengatakan, manfaat lingkungan seperti itu mungkin karena kriteria perlindungan lingkungan tambahan relatif terhadap UU di Indonesia dan skema sertifikasi wajib negara, ISPO.

Selain itu, mungkin kontribusi pada pengurangan deforestasi di desa karena tekanan rantai pasokan sawit ekspor yang mendapat tekanan organisasi masyarakat sipil.

Di Sumatra, katanya, mereka mendeteksi penurunan kepadatan penduduk. Dia juga tidak bisa mengesampingkan kemungkinan dampak positif lingkungan karena tekanan penduduk menurun.

“Sementara studi kami, adalah upaya pertama yang penting, penelitian lebih lanjut diperlukan tentang migrasi dan saluran di mana intervensi berbasis pasar sukarela seperti RSPO berdampak.”

Minim

Sementara di tingkat tapak, informasi mengenai standar sawit berkelanjutan seperti ISPO kepada petani masih minim. Doli, petani sawit Desa Tambusai Barat, Rokan Hulu, Riau mengatakan, petani di Tambusai banyak tak tahu soal ISPO.

“Sosialisasi di tingkat petani itu minim sekali,” katanya kepada Mongabay.

Mayoritas petani swadaya menanam sawit secara otodidak dengan informasi dari mulut ke mulut, merawat dan memanen seadanya. Dia bilang, tak ada penyuluhan apalagi upaya mendapatkan sertifikasi. “Tau ISPO itu saja tidak.”

Doli baru mengetahui ISPO setelah beberapa lembaga swadaya masyarakat melakukan pendampingan untuk mendapatkan standar RSPO. Kebun dia akan mendapatkan standar dari RSPO tahun ini lewat pendampingan organisasi masyarakat sipil.

Dia bilang, kalau pemerintah berharap sertifikasi ISPO tumbuh dari kemauan kalangan petani itu tidak akan sulit. “Sudah habis waktu kita untuk mengurus kebun.”

Doli, satu dari banyak petani swadaya sawit yang tidak mengetahui pasti terkait kewajiban sertifikasi ISPO. “Kita sih tidak munafik, kendala ISPO pada biaya dan juga kurangnya sosialisasi, mengapa harus sertifikasi dan keuntungannya.”

Pada tingkat tapak, studi yang dilakukan Rizka tadi ini juga menunjukkan bagaimana petani di Kalimantan mengalami permasalahan sama. Sosialisasi, pendampingan dan dukungan baik finansial maupun sumber daya manusia begitu minim. Keadaan ini menyebabkan petani masih sulit ikuti norma keberlanjutan.

Begitu juga pada level daerah dan nasional, ISPO makin kompleks dengan tak ada koordinasi antar lembaga. “Rendahnya kemauan politik dan komitmen daerah pada ISPO dan keterlambatan kebijakan regional dalam mendukung ISPO,” ujar Rizka.

Perbedaan ketertarikan, kepentingan dan persepsi antara petani, perusahaan dan pemerintah terkait makna keberlanjutan juga jadi kendala. Apalagi, ketidakjelasan insentif, sosialisasi dan ketiadaan dukungan finansial membuat sertifikasi ISPO masih jauh dari petani swadaya.

“Pada tingkat tapak, ada praktik yang berpotensi merusak sistem ISPO dengan ada institusi informal, antara lain, tengkulak yang ada dalam sistem bisnis industri sawit.”

Narno, Ketua Forum Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia mengatakan, partisipasi petani rendah juga karena ISPO berbiaya tinggi. Mulai dari pemetaan, legalitas, kelembagaan, pelatihan, audit internal, audit eksternal, maintenance sertifikat.

“Selain itu, standar ISPO belum menjadi program prioritas dalam rencana program jangka menengah daerah.”

***

Mushalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian mengatakan, perlu ada sistem pengelolaan sawit lebih efektif, efisien, adil dan berkelanjutan guna mendukung pembangunan ekonomi nasional.

Dia bilang, penting memastikan usaha sawit dari hulu hingga hilir layak dikelola dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan sesuai aturan berlaku.

Pemerintah, katanya, tengah menyiapkan peraturan Menteri Perindustrian soal ISPO aspek hilir industri sawit. “Kita perlu bangun supply chain traceability,” katanya, dalam webinar Kesiapan Implementasi Sertifikasi ISPO bagi Pekebun.

Penguatan regulasi ISPO ini, katanya, dipandang penting demi keberlanjutan sawit Indonesia. Antara lain, dengan menjawab beberapa isu seperti perbaikan tata kelola dengan membuka ruang partisipasi, akuntabilitas dan transparansi dan menyempurnakan prinsip dan kriteria ISPO.

Menurut Rizka, penting dibentuk Badan Sawit Berkelanjutan untuk menjembatani kesenjangan pada tingkat lokal, regional dan nasional. “Perlu ada sertifikasi tiap mata rantai tiap bisnis, termasuk tengkulak dan perlu juga ada insentif ekonomi.”

Mansuetus Darto, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengatakan, ISPO penting memiliki pemetaan yang mampu memberikan gambaran lokasi yang terbagi dalam peta indikatif low, medium, dan high risk.

Low risk adalah daerah  yang memungkinkan untuk menyelenggarakan sertifikasi. Medium risk yang mungkin 50% tidak tumpang tindih dengan kawasan hutan tetapi  sebagian legal dan dapat dilakukan sertfikasi. Kemudian, high risk ini sulit sertifikasi karena daerah itu masih perlu proses terlebih dahulu.

sumber : mongobay.co.id