Sejak berkembangnya sektor perkebunan di Indonesia, kelapa sawit merupakan komoditas yang digadang-gadang sebagai primadona sektor pertanian khususnya perkebunan. Selain itu, komoditas ini termasuk memiliki prospek yang paling cerah dibandingkan komoditas perkebunan lainnya, seperti kakao, karet, kopi, dan lain-lain.
Hal ini dapat dilihat dari perkembangan luas areal/tanaman menghasilkan yang selalu meningkat setiap tahun dan kebijakan pemerintah yang selalu mengupayakan komoditas ini tetap eksis di pasar domestik maupun internasional.
Minyak sawit diproduksi dalam jumlah besar berupa minyak mentah sawit (CPO) dan minyak kernel sawit (PKO). Di Indonesia sendiri, minyak sawit tersebut diproduksi oleh produsen dengan luas lahan yang diusahakan adalah 40,59% oleh perkebunan rakyat; 54,43% oleh perkebunan besar swasta; dan 4,98% oleh perkebunan besar negara dari 14,03 juta ha total lahan sawit di Indonesia.
Bisnis minyak kelapa sawit menguntungkan produsennya dengan beberapa alasan, di antaranya adalah margin laba yang besar, permintaan internasional yang besar yang diikuti dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia sebesar 9,6 miliar pada tahun 2050, tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibanding minyak nabati yang lain, dan gencarnya kampanye penggunaan biofuel secara global.
Selain itu, hasil penelitian Suharyono Turnip dan Marhadi tahun 2016 dengan menggunakan Teori Diamond Porter menyatakan faktor produksi, industri pendukung, peran pemerintah, dan kesempatan merupakan faktor yang mempengaruhi CPO sehingga memiliki daya saing di pasar Internasional. Apalagi dengan adanya diversifikasi produk CPO atau mandatori B20 oleh pemerintah akan berdampak pada permintaan CPO sekitar 4,1 juta ton (14% dari total ekspor CPO Indonesia).
Kemampuan Indonesia memenuhi permintaan ekspor CPO dalam jumlah banyak seperti ke India yaitu sebesar 6,714 ribu ton tahun 2018, menunjukkan bahwa komoditas ini layak untuk diperjuangkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor CPO dari Indonesia beberapa bulan terakhir ini adalah tren harga CPO internasional naik 0,44%; tren harga minyak kedelai internasional meningkat 0,90%; dan stok persediaan CPO di Malaysia yang turun hingga 80%.
Produksi CPO juga menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi jumlah CPO yang diekspor. Data Badan Pusat Statistik, Ditjenbun, dan GAPKI menunjukkan pertumbuhan produksi CPO tahun 2018 adalah 11,28% dari tahun sebelumnya, dengan total produksi 47,39 jt ton. Seiring dengan hal tersebut, pertumbuhan ekspornya juga meningkat sebesar 3,02% dengan total ekspor 32,02 juta ton tahun 2018.
Data GAPKI juga meramalkan hasil produksi kelapa sawit pada rentang waktu 2019-2025 akan terus meningkat seiring dengan permintaan domestik dalam bentuk makanan, biodiesel, biohidrocarbon, dan tenaga listik (PLN) yang juga meningkat.
Sebagaimana diketahui, International Monetary Fund (IMF) mengoreksi pertumbuhan ekonomi global yang melambat dari 3,5% menjadi 3,3%. Dalam situasi pelambatan ekonomi global, harga komoditas seperti sawit, apalagi karet dan kopi cenderung relatif rendah atau mengalami penurunan.
sumber: wartaekonomi.co.id