Sejarah dan Kontroversi Kampanye Anti Minyak Sawit Uni Eropa

Perselisihan Indonesia dan Uni Eropa soal minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) semakin memanas. Setelah Uni Eropa menerapkan tarif bea masuk produk biodiesel dari Indonesia sebesar 8-18%, giliran Indonesia melarang produk-produk berlabel bebas minyak sawit (palm oil free) dijual di supermarket dan gerai retail lainnya.

Kampanye menolak produk-produk yang menggunakan minyak sawit sebenarnya bukan hal baru. Selama beberapa tahun terakhir, kampanye ini gencar dilancarkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun oleh pemerintah Uni Eropa.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit disebut sebagai penyebab deforestasi, peningkatan emisi karbon, dan mengancam habitat orang utan. Sementara itu, produsen minyak sawit seperti Indonesia dan Malaysia menuding kampanye tersebut merupakan upaya Uni Eropa untuk melindungi kepentingan dan pasar domestiknya dari serbuan minyak nabati berharga murah.

Benih Kelapa Sawit Dibawa Eropa dari Afrika Barat

Sejarah perdagangan minyak sawit sebenarnya bukan dimulai dari Asia. Perkebunan kelapa sawit berasal dari Afrika Barat, terbentang dari Angola hingga Pantai Gading. Sekitar tahun 1849, Belanda dan Inggris punya ide untuk membawa benih kelapa sawit dari Afrika Barat ke daerah jajahannya, yakni Indonesia dan Malaysia. Butuh waktu sekitar 60 tahun sebelum benih kelapa sawit itu diperdagangkan secara komersial.

Singkat cerita, tanaman kelapa sawit ternyata cocok ditanam di iklim tropis. Ketika Malaysia menjadi negara merdeka, pemerintahnya mengembangkan program untuk memperluas produksi minyak sawit, menggantikan kayu dan karet.

Bagaimana dengan perkembangan kelapa sawit di Indonesia? Sejarahnya berawal dari empat benih kelapa sawit dari Mauritius dan Amsterdam yang dibawa ilmuwan Belanda Dr. DT. Pryce untuk dijadikan koleksi Kebun Raya Bogor pada 1848. Biji kelapa sawit dari Kebun Raya Bogor inilah yang disebar sebagai tanaman hias sekaligus percobaan di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Sumatra, khususnya di perkebunan tembakau Deli.

Perkebunan kelapa sawit pertama pada 1878 dikembangkan oleh Deli Maatschappij di lahan seluas 0,4 hektare. Produksi kelapa sawit tersebut ternyata lebih baik daripada di Afrika Barat yang menjadi habitat asalnya. Namun, pengolahannya masih terkendala. Pada 1911, perusahaan Belgia membuka usaha perkebunan kelapa sawit komersial pertama di Pulau Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh).

Langkah Belgia diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya, seperti Jerman, Belanda, dan Inggris. Pada 1916 ada 19 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan tumbuh hampir dua kali lipat menjadi 34 perusahaan pada 1920.

Area perkebunan kelapa sawit pun terus bertambah dari 300 ribu hektare pada 1980 menjadi 11,6 juta hektare pada 2016. Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pada 1980 produksi CPO Indonesia sebesar 700 ribu ton. Pada 2016, produksi CPO sudah mencapai 33,5 juta ton.

Indonesia berhasil menyalip Malaysia menjadi produsen CPO terbesar di dunia sejak 2006. Pada saat yang bersamaan, minyak sawit Indonesia menggeser minyak kedelai Amerika Serikat (AS) yang merajai pasar minyak nabati global. Pangsa pasar CPO Indonesia pada 2016 mencapai 54% dari pasar CPO global. Produksi minyak sawit Indonesia sebesar 75-80% untuk ekspor sedangkan 20-25% untuk pasar domestik.

Aturan Biodiesel Eropa dan Proteksionisme

CPO digunakan untuk industri makanan, kosmetik, hingga biodiesel. Eropa memiliki aturan mengenai energi terbarukan yang harus diintegrasikan ke dalam penggunaan energi rumah tangga sejak 2009. Namun, aturan ini diamendemen pada 2015 untuk mengurangi konversi lahan pertanian menjadi lahan tanaman yang digunakan untuk memproduksi biodiesel.

Uni Eropa tidak secara langsung menyebut larangan penggunaan minyak sawit dalam aturan yang diterbitkan 2015 itu. Namun, Uni Eropa mensyaratkan tanaman yang digunakan untuk biodiesel harus berkelanjutan dan perkebunan kelapa sawit dinilai tidak bisa memenuhi ketentuan tersebut. Perkebunan kelapa sawit kerap dituding sebagai pemicu kebakaran hutan, deforestasi, dan mengancam kehidupan orang utan.

Kebijakan ini berdampak negatif pada ekspor CPO Indonesia mengingat Uni Eropa adalah importir terbesar biodiesel. Kebijakan ini juga memunculkan kecurigaan bahwa Uni Eropa berusaha memproteksi pasarnya dari produk impor dari Indonesia dan Malaysia. Uni Eropa berencana mengembangkan dua juta hektare lahan minyak rapa (rapeseed oil) untuk mendukung kebutuhan biodieselnya.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, Indonesia mempertimbangkan untuk mengenakan bea masuk untuk produk olahan susu dari Uni Eropa. Hal ini merupakan balasan terhadap tarif bea masuk yang dikenakan pada produk biodiesel Indonesia. “Saya sudah meminta para importir produk olahan susu dari Uni Eropa untuk mengambil sumber lain, seperti Amerika Serikat (AS), India, Australia, atau Selandia Baru,” ujarnya. Beberapa impor produk minuman beralkohol dari Uni Eropa juga dialihkan ke negara lain.

Malaysia juga bereaksi keras terhadap aksi boikot Uni Eropa. Menteri Utama Industri Malaysia Teresa Kok mengatakan, pemboikotan Uni Eropa terhadap minyak sawit Malaysia adalah alasan yang mengada-ada. “Malaysia tidak pernah mengkampanyekan hal semacam itu ke produk-produk pertanian Eropa. Lihat saja di supermarket kita, ada bermacam-macam minyak dan produk lainnya dari Uni Eropa,” ujar Kok seperti dikutip freemalaysiatoday.com.

Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad bahkan menyebut Uni Eropa munafik. Dalam opini berjudul “Britain Should Break with Europe on Palm Oil” di Bloomberg, Mahathir menyebut tindakan Uni Eropa adalah bentuk kolonialisme modern. “Dengan menggunakan perdagangan sebagai senjata, Uni Eropa merisak (bullying) wilayah yang lebih miskin di dunia,” kata Mahathir.

sumber: katadata.co.id