Belakangan ini, ancaman hubungan dagang antar Indonesia dan Uni Eropa terus meningkat. Alasannya adalah peraturan baru Uni Eropa yang menyebutkan minyak sawit alias CPO sebagai produk yang ‘tidak berkelanjutan’. Dengan begitu, penggunaan minyak sawit untuk bahan baku biodiesel akan dikurangi secara berangsur-angsur hingga akhirnya habis sama sekali pada tahun 2030.
Uni Eropa beranggapan bahwa 45% dari perluasan lahan produksi minyak sawit sejak tahun 2008 telah menyebabkan kerusakan hutan, lahan gambut, dan lahan basah, serta menghasilkan emisi gas rumah kaca secara terus menerus.
Sedangkan hanya 8% dari perluasan lahan untuk produksi minyak kedelai yang berkontribusi pada kerusakan yang sama.
Padahal menurut Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), tanaman sawit merupakan yang paling produktif dalam menghasilkan minyak nabati, dibanding saingannya.
Tanaman sawit memiliki tingkat produktivitas sebesar 3,91 ton/hektare. Artinya, dengan luas lahan satu hektare dapat menghasilkan 3,91 ton minyak sawit. Jauh lebih tinggi (bahkan hingga 7 kali lipat) dari kedelai yang mana hanya memiliki tingkat produktivitas sebesar 0,5 ton/hektare.
Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa keputusan Uni Eropa tersebut merupakan tindakan diskriminasi.
“Ini kan namanya tindakan diskriminasi. Sejak lama kita dan Malaysia sudah memprotes itu, tapi selama ini prosesnya masih dengar pendapat publik dan sebagainya, sehingga posisinya belum resmi jadi posisi Uni Eropa,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Senin (18/3/2019).
Bila peraturan tersebut sudah berlaku penuh, maka Indonesia berpotensi untuk kehilangan pemasukan hingga miliaran dolar.
Pasalnya, nilai ekspor minyak sawit dan turunannya ke Uni Eropa cukup besar. Bahkan pada tahun 2018 mencapai US$ 2,28 miliar.
Sebelumnya diketahui bahwa 51% minyak sawit yang diimpor oleh Uni Eropa digunakan sebagai bahan baku biodiesel.
Artinya, Indonesia berpotensi kehilangan 51% dari total ekspor minyak sawit ke Uni Eropa, atau sebesar US$ 1,16 miliar pada tahun 2018. Nilai tersebut setara dengan 4% dari total impor migas Indonesia tahun tersebut.
Dampaknya, transaksi berjalan (current account) akan semakin dibayang-bayangi ‘hantu’ defisit. Tak berhenti sampai di situ, defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) membuat rupiah akan kekurangan energi untuk dapat menahan tekanan mata uang lain. Potensi pelemahan nilai tukar mata uang merah putih semakin lebar.
Untuk itu,pemerintah tengah berencana untuk melayangkan gugatan ke World Trade Organization (WTO) bila undang-undang baru Uni Eropa tersebut benar-benar berlaku.
Sebagai informasi Peraturan baru tersebut akan diujicoba selama dua bulan. Dalam rentang waktu tersebut, negara-negara anggota Uni Eropa dapat menyatakan keberatan.
Bila tidak ada yang berkeberatan, maka akan dipublikasikan dalam jurnal Uni Eropa dan berlaku sebagai hukum.
sumber: cnbcindonesia.com