Sawit Notif – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkap adanya 282 perusahaan yang diduga melanggar aturan ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Dugaan pelanggaran itu mencakup praktik manipulasi dokumen dan under-invoicing dalam proses ekspor.
Dilansir dari Antaranews.com Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menyampaikan bahwa jumlah tersebut merupakan hasil akumulasi temuan sepanjang beberapa tahun terakhir. “Sebanyak 25 wajib pajak ditemukan melanggar pada tahun 2025, sementara 257 wajib pajak lainnya melanggar dalam periode 2021 hingga 2024,” ujarnya dalam konferensi pers di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis.
Pada tahun berjalan, Bimo menjelaskan, modus pelanggaran yang ditemukan berkaitan dengan pemalsuan dokumen fatty matter. Ia menegaskan, “Milestone awal ini modus penggelapan melalui pengakuan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)-nya itu fatty matter, yang ternyata bukan fatty matter. Ini merupakan milestone awal.”
DJP mencatat total nilai transaksi yang terkait dengan praktik tersebut mencapai sekitar Rp2,08 triliun. Potensi kerugian negara dari sisi pajak diperkirakan mencapai Rp140 miliar.
Sementara itu, praktik manipulasi dokumen ekspor dengan menggunakan laporan Palm Oil Mill Effluent (POME) disebut telah berlangsung sejak 2021 hingga 2024. Selama periode itu, sebanyak 257 wajib pajak tercatat menggunakan modus serupa dengan total nilai PEB mencapai Rp45,9 triliun.
Modus POME dilakukan dengan melaporkan komoditas yang seharusnya bukan POME, sehingga nilai pajak yang dibayarkan menjadi jauh lebih rendah dari seharusnya.
Lebih lanjut, Bimo menuturkan bahwa DJP saat ini sedang melakukan pemeriksaan bukti permulaan terhadap empat perusahaan, yaitu PT MMS dan tiga afiliasinya, PT LPMS, PT LPMT, serta PT SUNN. Pemeriksaan tersebut bertujuan memastikan kesesuaian data, nilai transaksi, serta tingkat kepatuhan pajak.
“Jadi rencana kami, kami sudah laporkan kepada Pak Menkeu. Setelah ini, 282 wajib pajak yang melakukan ekspor serupa itu akan kami periksa, kami lakukan bukper, dan kami sidik sesuai dengan kecukupan bukti awal,” terang Bimo.
DJP dalam hal ini mengedepankan pendekatan kolaboratif dalam penegakan hukum. Kerja sama dilakukan dengan Satgasus Optimalisasi Penerimaan Negara Polri, Bareskrim, Jampidum Kejaksaan Agung, PPATK, BPKP, hingga KPK.
Langkah tersebut, kata Bimo, tidak hanya ditujukan untuk memberikan efek jera kepada para pelanggar, tetapi juga memperkuat tata kelola ekspor-impor serta mendukung program hilirisasi industri sawit.
Hasil pengawasan bersama DJP dan Bea Cukai juga menemukan adanya lonjakan signifikan pada volume ekspor fatty matter. Pada 2025, volume ekspor tercatat mencapai 73.287 ton, meningkat dari 31.403 ton pada 2024, 22.151 ton pada 2023, dan 19.383 ton pada 2022.
Selain pelanggaran dokumen, DJP juga mendeteksi berbagai praktik penyimpangan lain seperti under-invoicing, transfer pricing melalui afiliasi luar negeri, pengajuan restitusi PPN fiktif, serta penghindaran kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) untuk produk CPO.
Dari hasil pengembangan penyelidikan di Pelabuhan Tanjung Priok, jumlah kontainer ekspor yang diduga bermasalah meningkat tajam. Awalnya hanya 25 kontainer, kini mencapai 87 kontainer, seluruhnya berasal dari PT MMS.
Dalam dokumen PEB, tujuh laporan ekspor milik PT MMS mencantumkan komoditas fatty matter dengan total berat 1.802,71 ton senilai Rp28,79 miliar. Komoditas tersebut tidak dikenai Bea Keluar, Pungutan Ekspor, dan tidak termasuk dalam kategori larangan atau pembatasan ekspor (Lartas). (AD)(DK)(SD)
Tabel Lonjakan Volume Ekspor Fatty Matter (2022–2025)
| Tahun | Volume Ekspor (Ton) |
| 2022 | 19.383 |
| 2023 | 22.151 |
| 2024 | 31.403 |
| 2025 | 73.287 |

