Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan akan membawa kriteria industri minyak kelapa sawit yang berkelanjutan ke pertemuan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September mendatang. Di hadapan pejabat dunia, dia akan menerangkan bahwa kelapa sawit cukup menentukan laju kemiskinan di Indonesia.
Berdasarkan informasi yang terkumpul padanya, komoditas ini sangat berpengaruh terhadap perbaikan kemiskinan, terutama di small holders atau petani kecil. “Rasio gini Indonesia banyak turun salah satunya karena crude palm oil (minyak sawit mentah),” kata Luhut di kantornya, Jakarta pada Jumat (28/6).
Tak hanya bagi petani, gerak sektor ini merupakan komponen besar dalam neraca perdagangan Indonesia yang masih mengandalkan hasil komoditas. Hasil bumi seperti minyak sawit, batu bara, karet, dan biji besi masih menjadi primadona ekspor sepanjang tahun lalu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), minyak sawit menjadi penyumbang ekspor nonmigas terbesar senilai US$ 20,3 miliar -sekitar Rp 275 triliun- pada 2017. Jumlah tersebut setara dengan 13,3 persen dari total ekspor nonmigas tahun lalu yang mencapai US$ 153,07 miliar.
Pendekatan ke Badan Perserikatan Bangsa-bangsa itu merupakan lobi kesekian kalinya yang dilakukan pemerintah. Pada pertengahan Mei kemarin, Luhut sudah bertemu pemerintah Vatikan di Roma. Dia menjelaskan persoalan wacana pelarangan produk kelapa sawit untuk biodiesel di Uni Eropa.
Ketika itu, Luhut pun menekankan bahwa larangan produk kelapa sawit untuk biodiesel di Uni Eropa tak semata berdampak pada persoalan ekonomi. Hal ini juga berkaitan dengan masalah kemiskinan, kemanusiaan, dan keadilan.
Nah, dalam pertemuan PBB nanti juga berkaitan dengan langkah Uni Eropa yang merevisi kebijakan energi terbarukan. Dalam arahan energi terbarukan Uni Eropa atau renewable energy directive (RED II), kriteria pembatasan penggunaan minyak kelapa sawit (CPO) sebagai bahan campuran biofuel diberlakukan mulai 2030. Namun perlakuan yang sama tidak dikenakan atas minyak nabati jenis lainnya seperti rape seed dan bunga matahari yang banyak diproduksi di Eropa dan Amerika.
Luhut ingin Indonesia ikut menentukan kriteria pembatasan tersebut karena tidak ingin menerima begitu saja kriteria yang dibuat oleh negara-negara Uni Eropa (UE). Oleh karena itu, dia berencana bertemu dengan negara-negara di wilayah itu pada Agustus mendatang, dengan membawa kriteria yang diajukan Indonesia. “Sehingga saat Februari tahun depan, posisi kita sudah lebih bagus,” ujar Luhut.
Menurutnya, hasil pertemuan negara-negara UE sebelumnya tidak begitu banyak membawa perbedaan. Pasalnya, yang menjadi isu adalah kriteria perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ILUC) yang masih perlu dirumuskan bersama. Hal ini tidak mudah karena ILUC punya kriteria yang berbeda-beda. Tanaman pangan (crops) pun begitu.
Dalam membentuk kriteria, Indonesia harus ofensif namun tetap kredible dengan menggunakan data-data hasil penelitian institusi internasional yang memiliki reputasi baik. “Ingin menunjukkan ke EU bahwa kita tidak akan menambah lahan. Tapi, mau replanting sehingga produktivitas lahan smallholders yang kira-kira dua ton/hektare bisa menjadi 6-8 ton/ha,” ujar Luhut.
sumber: katadata.co.id