Sawit Notif – Plt. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto, menegaskan pentingnya memaksimalkan produktivitas kelapa sawit di lahan yang sudah ada sebagai langkah strategis dalam memenuhi lonjakan permintaan domestik untuk bahan bakar nabati, terutama menjelang penerapan program B40 dan B50.
Pernyataan ini disampaikan Heru dalam ajang Expert Connect 2025 bertajuk “Unstoppable Agriculture: Peak Productivity and Operations Efficiency” yang diadakan oleh Shell bersama Majalah Sawit Indonesia di Bandung, Rabu (18/6) seperti yang dikutip dari sawitindonesia.com.
“Baru minggu lalu, Menteri Pertanian mengundang sejumlah perusahaan sawit dan meminta dukungan untuk meningkatkan produktivitas menjadi 7 ton CPO per hektare per tahun,” ungkap Heru.
Ia menjelaskan bahwa kebutuhan akan CPO akan meningkat signifikan untuk mendukung pengembangan biofuel. Program B50 diperkirakan memerlukan tambahan sekitar 7 juta ton CPO. Saat ini, produktivitas sawit nasional masih berada di angka rata-rata 3,6 ton per hektare per tahun.
Heru menambahkan bahwa benih sawit yang telah dilepas pemerintah sejatinya memiliki potensi menghasilkan 7 hingga 9 ton CPO per hektare. “Ada potensi kenaikan 3–4 ton yang bisa dicapai. Jika kita bisa dorong produktivitas ke angka 7 ton, tambahan 7 juta ton CPO dapat diperoleh tanpa perlu membuka lahan baru,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa sawit adalah sektor strategis dengan luas lahan mencapai 16,8 juta hektare dan menjadi andalan perekonomian nasional. Menurutnya, tantangan ke depan bukan hanya mempertahankan posisi Indonesia sebagai produsen sawit terbesar dunia, tetapi juga memastikan keberlanjutan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan petani.
Heru menilai intensifikasi melalui program peremajaan (replanting) dan peningkatan praktik budidaya di hulu lebih masuk akal ketimbang ekspansi lahan. Namun, ia juga menyoroti lambannya pelaksanaan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang masih terkendala di proses verifikasi dan implementasi di lapangan.
Ia mengajak perusahaan besar untuk berperan aktif dalam mempercepat PSR melalui jalur kemitraan, misalnya dengan menghubungkan petani dengan kebun inti dan memanfaatkan skema pembiayaan dari BPDPKS.
Selain itu, Heru menekankan pentingnya kolaborasi riset, khususnya untuk mengatasi penyakit tanaman seperti Ganoderma yang masih menjadi ancaman serius di lapangan. Ia mendorong agar hasil riset bisa diajukan ke BPDP untuk mendapatkan dukungan pendanaan.
Heru juga menyoroti pentingnya memperkuat kemitraan antara kebun inti dan kebun plasma, dan mengkritik beberapa perusahaan yang tidak lagi menjaga hubungan jangka panjang dengan petani setelah tahap awal pengembangan kebun.
“Sawit bukan semata soal produktivitas, tapi juga tentang pemberdayaan masyarakat. Kita harus pastikan masyarakat sekitar ikut merasakan manfaatnya,” ujarnya tegas.
Ia menutup dengan ajakan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mendorong produktivitas dan keberlanjutan industri sawit nasional. Forum Expert Connect diharapkan dapat menjadi wadah strategis untuk memperkuat sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan mitra teknologi seperti Shell.(DK)(NR)